Senin, 07 Januari 2013

Sistem Neurologi


KATA PENGANTAR


Assalamu alaikum wr.wb
Puji syukur  kami panjatkan kehadirat Allah SWT.karena atas berkah rahmat dan hidayahNya jugalah penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dalam bentuk yang sederhana.
Shalawat serta salam mudah-mudahan terlimpah kepada nabi Muhammad SAW.yang membawa umat manusia dari alam gelap gulita menuju alam yang terang benderang seperti sekarang ini.
Walaupun dalam penyusunan makalah ini memenuhi banyak kendala yang dihadapi namun berkat dukungan dan motivasi dari semua pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “PEMERIKSAAN NEUROLOGIS (TINGKAT KESADARAN (GCS)”.Dimana untuk menyelesaikan tugas KDM 1.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,oleh sebab itu,dengan penuh kerendahan hati,penulis sangat membutuhkan kritik dan saran dari semua pihak yang sifatnya membangun untuk sempurnanya makalah ini.Didalam menyelesaikan makalah ini masih banyak hambatan dan kendala yang dihadapi,namun berkat dukungan dan kerja sama yang baik dari semua pihak hingga penulis dapat menyelsaikan makalah ini tepat pada waktunya.Oleh karena itu,penulis mengucapkan banyak terimakasih buat semua pihak yang terlibat.
Billahi fii sabilil haq fastabiqul khairat
           
Wassalamu alaikum wr.wb


Makassar, 27 september 2011

Penulis
                                                                                                       Kelompok 12
DAFTAR ISI




KATA PENGANTAR                                  ...........................................     1
DAFTAR ISI                                      ...........................................     2
BAB I                                                             ...........................................     i
PENDAHULUAN                             ...........................................     3
   A.LATAR BELAKANG                            ......................................................      3
   B.RUMUSAN MASALAH                        ......................................................      3
   C.TUJUAN DAN MANFAAT MAKALAH...................................................      4
BAB II                                                            ...........................................     ii
PEMBAHASAN                               ...........................................     4
 
PENUTUP                                        ...........................................    
DAFTAR PUSTAKA                                   ...........................................    






















BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Sistem persarafan berfungsi sebagai pengatur berbagai aktivitas tubuh.Sistem persarafan terdiri atas saraf pusat dan saraf perifer.Dalam pengkajian sistem persarafan,pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan fungsi kesadaran,mental,dan gerakan sensasi.Pengkajian terhadap riwayat cedera kepala,pembedahan pada persarafan,pingsan,maupun stroke perlu ditanyakan.Gangguan persarafan dapat menyebabkan gangguan dalam beraktivitas. Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit saraf diperlukan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan mental dan laboratorium (penunjang). Pemeriksaan neurologis meliputi: pemeriksaan kesadaran, rangsang selaput otak, saraf otak, sistem motorik, sistem sensorik refleks dan pemeriksaan mental (fungsi luhur).
          Selama beberapa dasawarsa ini ilmu serta teknologi kedokteran maju dan berkembang dengan pesat. Banyak alat dan fasilitas yang tersedia, dan memberikan bantuan yang sangat penting dalam mendiagnosis penyakit serta menilai perkembangan atau perjalanan penyakit. Saat ini kita dengan mudah dapat mendiagnosis perdarahan di otak, atau keganasan di otak melalui pemeriksaan pencitraan. Kita juga dengan mudah dapat menentukan polineuropati dan perkembangannya melalui pemeriksaan kelistrikan.
Di samping kemajuan yang pesat ini, pemeriksaan fisik dan mental di sisi ranjang (bedside) masih tetap memainkan peranan yang penting. Kita bahkan dapat meningkatkan kemampuan pemeriksaan di sisi ranjang dengan bantuan alat teknologi yang canggih. Kita dapat mempertajam kemampuan pemeriksaan fisik dan mental dengan bantuan alat-alat canggih yang kita miliki.
          Sampai saat ini kita masih tetap dan harus memupuk kemampuan kita untuk melihat, mendengar, dan merasa, serta mengobservasi keadaan pasien. Dengan pemeriksaan ana mnesis, fisik dan mental yang cermat, kita dapat menentukan diagnosis, dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
B.RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana cara pemeriksaan neurologis (tingkat kesadaran (GCS) ?
2.    Bagaimana fisiologi dari pemeriksaan neurologis (tingkat kaesadaran (GCS) ?
3.    Bagaimana patofisiologi dari pemeriksaan (tingkat kesadaran (GCS) ?
4.    Bagaimana teknik pemeriksaan neurologis (tingkat kesadaran (GCS) ?
C.TUJUAN DAN MANFAAT MAKALAH
Adapun tujuan dan manfaat makalah ini adalah :
·         Kita dapat mengetahui  bagaimana cara pemeriksaan neurologis
·         Kita dapat mengetahui fisiologi dari pemeriksaan  neurologis
·         Kita dapat mengetahui patofisiologi dari pemeriksaan neurologis
·         Untuk mengetahui tehnik pemeriksaan neurologis


























BAB II
PEMBAHASAN
 Sampai saat ini kita masih tetap dan harus memupuk kemampuan kita untuk melihat, mendengar, dan merasa, serta mengobservasi keadaan pasien. Dengan pemeriksaan anamnesis, fisik dan mental yang cermat, kita dapat menentukan diagnosis, dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
·         Anamnesis
          Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang penting. Seorang dokter tidak mungkin berkesempatan mengikuti penyakit sejak dari mulanya. Biasanya penderita datang ke dokter pada saat penyakit sedang berlangsung, bahkan kadang-kadang saat penyakitnya sudah sembuh dan keluhan yang dideritanya merupakan gejala sisa. Selain itu, ada juga penyakit yang gejalanya timbul pada waktu-waktu tertentu; jadi, dalam bentuk serangan. Di luar serangan, penderitanya berada dalam keadaan sehat. Jika penderita datang ke dokter di luar serangan, sulit bagi dokter untuk menegakkan diagnosis penyakitnya, kecuali dengan bantuan laporan yang dikemukakan oleh penderita (anamnesis) dan orang yang menyaksikannya (allo-anamnesis).
          Tidak jarang pula suatu penyakit mempunyai perjalanan tertentu. Oleh karena perjalanan penyakit sering mempunyai pola tertentu, maka dalam menegakkan diagnosis kita perlu menggali data perjalanan penyakit tersebut. Suatu kelainan fisik dapat disebabkan oleh bermacam penyakit. Dengan mengetahui perjalanan penyakit, kita dapat mendekati diagnosisnya, dan pemeriksaan laboratorium yang tidak perlu dapat dihindari. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa: “Anamnesis yang baik membawa kita menempuh setengah jalan ke ara diagnosa yang tepat”.
          Untuk mendapatkan anamnesis yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar dan penuh perhatian, serta waktu yang cukup. Pengambilan anamnesis sebaiknya dilakukan di tempat tersendiri, supaya tidak didengar orang lain. Biasanya pengambilan anamnesis mengikuti 2 pola umum, yaitu:
  1. Pasien dibiarkan secara bebas mengemukakan semua keluhan serta kelainan yang dideritanya.
  2. Pemeriksa (dokter) membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau kelainannya dengan jalan mengajukan pertanyaan tertuju.
Pengambilan anamnesa yang baik menggabungkan kedua cara tersebut diatas.
          Biasanya wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan nama, umur, pekerjaan, alamat. Kemudian ditanyakan keluhan utamanya, yaitu keluhan yang mendorong pasien datang berobat ke dokter. Pada tiap keluhan atau kelainan perlu ditelusuri:
  1. Sejak kapan mulai
  2. Sifat serta beratnya
  3. Lokasi serta penjalarannya
  4. Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, sehabis makan dan lain sebagainya)
  5. Keluhan lain yang ada hubungannya dengan keluhan tersebut
  6. Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya
  7. Faktor yang membuat keluhan lebih berat atau lebih ringan
  8. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat, bertambah ringan, datang dalam bentuk serangan, dan lain sebagainya
Pada tiap penderita penyakit saraf harus pula dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau kelainan dibawah ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut:
  1. Nyeri kepala : Apakah anda menderita sakit kepala? Bagaimana sifatnya, dalam bentuk serangan atau terus menerus? Dimana lokasinya? Apakah progresif, makin lama makin berat atau makin sering? Apakah sampai mengganggu aktivitas sehari-hari?
  2. Muntah : Apakah disertai rasa mual atau tidak? Apakah muntah ini tiba-tiba, mendadak, seolah-olah isi perut dicampakkan keluar (proyektil)?
  3. Vertigo : Pernahkah anda merasakan seolah sekeliling anda bergerak, berputar atau anda merasa diri anda yang bergerak atau berputar? Apakah rasa tersebut ada hubungannya dengan perubahan sikap? Apakah disertai rasa mual atau muntah? Apakah disertai tinitus (telinga berdenging, berdesis)?
  4. Gangguan pemglihatan (visus) : Apakah ketajaman penglihatan anda menurun pada satu atau kedua mata? Apakah anda melihat dobel (diplopia)?
  5. Pendengaran : Adakah perubahan pada pendengaran anda? Adakah tinitus (bunyi berdenging/berdesis pada telinga)?
  6. Saraf otak lainnya : Adakah gangguan pada penciuman, pengecapan, salivasi (pengeluaran air ludah), lakrimasi (pengeluaran air mata), dan perasaan di wajah? Adakah kelemahan pada otot wajah? Apakah bicara jadi cadel dan pelo? Apakah suara anda berubah, jadi serak, atau bindeng (disfonia), atau jadi mengecil/hilang (afonia)? Apakah bicara jadi cadel dan pelo (disartria)? Apakah sulit menelan (disfagia)?
  7. Fungsi luhur : Bagaimana dengan memori? Apakah anda jadi pelupa? Apakah anda menjadi sukar mengemukakan isi pikiran anda (disfasia, afasia motorik) atau memahami pembicaraan orang lain (disfasia, afasia sensorik)? Bagaimana dengan kemampuan membaca (aleksia)? Apakah menjadi sulit membaca, dan memahami apa yang anda baca? Bagaimana dengan kemampuan menulis, apakah kemampuan menulis berubah, bentuk tulisan berubah?
  8. Kesadaran : Pernahkah anda mendadak kehilangan kesadaran, tidak mengetahui apa yang terjadi di sekitar anda? Pernahkah anda mendada merasa lemah dan seperti mau pingsan (sinkop)?
  9. Motorik : Adakah bagian tubuh anda yang menjadi lemah, atau lumpuh (tangan, lengan, kaki, tungkai)? Bagaimana sifatnya, hilang-timbul, menetap atau berkurang? Apakah gerakan anda menjadi tidak cekatan? Adakah gerakan pada bagian tubuh atau ekstremitas badan yang abnormal dan tidak dapat anda kendalikan (khorea, tremor, tik)?
  10. Sensibilitas : Adakah perubahan atau gangguan perasaan pada bagian tubuh atau ekstremitas? Adakah rasa baal, semutan, seperti ditusuk, seperti dibakar? Dimana tempatnya? Adakah rasa tersebut menjalar?
  11. Saraf otonom : Bagaimana buang air kecil (miksi), buang air besar (defekasi), dan nafsu seks (libido) anda? Adakah retensio atau inkontinesia urin atau alvi?
Pemeriksaan Fisik
            Langkah pemeriksaan yang dilakukan adalah:
Inspeksi
1.    Inspeksi ditujukan pada daerah yang dikeluhkan.
2.    Pada inspeksi dilihat adanya perubahan warna kulit setempat,yang mungkin terjadi akibat adanya gangguan pada arteri.Bila ditemukan luka,maka perlu dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:
a)    Jaringan sekitarnya apa ada pendarahan sekitar luka.
b)    Jenis-jenis luka
c)    Lihat edema
d)    Lihat lokasi luka.
e)    Bila lukanya sudah lama dilihat ada/tidaknya jaringan nekrotik.
f)     Lihat warna kulit.
3.Selanjutnya dilihat ada tidaknya deformitas/ataupun luka terbuka,serta dilihat pula ada tidaknya edema.
4.Akhirnya dipaksa normal/tidaknya kemampuan pada daerah yang terkena juga dinilai kemampuan gerakan dari masing-masing ekstermitas.


Palpasi
1.    Sensasi diberikan dengan cara palpasi didaerah yang terkena ataupun didaerah yang terasa nyeri gerakan,serta gambaran sirkulasinya.
2.    Periksa nadi didaerah sebelah distal,serta bandingkan dengan tekanan nadi do ekstermitas sebelahnya.
3.    Palpasi pada ekstermitas atas meliputi pemeriksaan kelenjar limfe didaerah ketiak.sementara itu,untuk ekstermitas bawah palpasi kelenjar limfe didaerah ingunial.
4.    Untuk memeriksa adanya massa,dapat dilihat ukuran,lokasi,konsistensi,serta sifat-sifat tumor yang lain.hal ini berlaku untuk kedua ekstermitas (atas dan bawah)
  • Pemeriksaan Umum
    • Sensorium (kesadaran)
 Dalam melakukan pengkajian kesadaran,harus dibedakan dengan kondisi klien sedang tidur.Bila tidur dapat terbangun pada perangsangan ringan/sedang,sementara klien koma tak ada reaksi terhadap bentuk rangsangan.Bila klien menunjukkan gangguan tingkat kesadaran (pada umumnya dijumpai pada penderita gawat darurat) terdapat beberapa pemeriksaan tingkat kesadaran.Untuk pemeriksaan tingkat kesadaran yang cepat (di primary survey ) dapat menggunakan pemeriksaan dengan alert,respond ti voice,respond to pain dan unresponsive (AVPU).
Pemeriksaan neurologis AVPU
A
Alert (sadar)
Klien sadar penuh,membuka mata dengan spontan,dapat menggerakkan kaki/tangan sebagaimana diperintahakan,dan menjawab pertanyaan yang sederhana secara benar.
V

Respond to voice (berespons terhadap suara )
Klien hanya memberikan reaksi ketika dirangsang dengan suara,klien mungkin hanya bereaksi dengan suara-suara yang tidak berarti,mengerang,atau hanya membuka mata.
P
Respond to pain (berespons terhadap nyeri )
Klien hanya memberikan reaksi ketika dirangsang dengan sensasi nyeri (contoh pijatan di kuku jari),klien hanya bereaksi dengan menarik,fleksi,atau bahkan ekstensi.
U
Unresponsive (tidak ada respons )
Klien tidak menunjukkan reaksi sama sekali.
Tingkat kesadaran dibagi menjadi beberapa yaitu:  
§  Normal      : kompos mentis
§  Somnolen : : Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai letargi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya pasien dibangungkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
§  Sopor (stupor) : Kantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti suruhan yang singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri pasien tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari pasien. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
§  Koma – ringan (semi-koma) : Pada keadaan ini tidak ada respons terhadap rangsang verbal. Refleks ( kornea, pupil dsb) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respons terhadap rangsang nyeri. Pasien tidak dapat dibangunkan.
§  Koma (dalam atau komplit) : Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
Sementara untuk pemeriksaan detail,penggunaan Glasgow Coma Scale (GCS) lebih berguna untuk mendapatkan data yang lebih akurat.Pemeriksaan GCS sangat penting untuk memeriksa status neurologis khususnya pada kasus trauma seperti cedera kepala.Pemeriksaan ini menggunakan stimuli suara dan nyeri yang kemudian akan dinilai berdasarkan respon klien.
o    Skala Koma Glasgow
Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respon) penderita terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respon tersebut. Tanggapan/respon penderita yang perlu diperhatikan adalah:
Pemeriksaan neurologis GCS.
Parameter
Respon
Nilai
Membuka mata
Spontan
4
Berespons terhadap suara
3
Berespons terhadap nyeri
2
Tidak ada respons
1
Respons verbal
Orientasi balik
5
Bingung
4
Kata-kata tidak jelas
3
Mengerang
2
Tidak ada respons suara
1
Responsmotorik (pergerakan motorik )
Mengikuti perintah
6
Lokalisasi terhadap nyeri
5
Fleksi,menarik
4
Fleksi abnormal
3
Eksternal abnormal
2
Tidak ada
1
Nilai maksimal penilaian dengan menggunakan GCS adalah 15 sementara nilai minimal 3.Nilai kurang atau sama dengan 8 menunjukkan klien dengan kesadaran koma;skor 9-12:gangguan kesadaran tingkat sedang;dan skor 13-15:gangguan kesadaran tingkat ringan(kesadaran baik).Berdasarkan pengkajian kesadaran,maka dapat dibuat kesimpulan mengenai tingkat kesadaran klien yang dinyatakan dengan sadar penuh (kompos mentis ),letargi,stupor,semikoma,atau koma.
·         Pemeriksaan Neurologis
o   Kepala dan Leher
-         Bentuk                    : simetris atau asimetris
-         Fontanella              : tertutup atau tidak
-         Transiluminasi
 
o   Rangsang meningeal
-         Kaku kuduk    : Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan sbb: Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat
-         Kernig sign     : Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90°. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135° terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135°, maka dikatakan Kernig sign positif.
-         Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign)
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.
-         Brudzinski II (Brudzinski’s contralateral leg sign)
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini postif.
-         Lasegue sign  : Untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang berbaring lalu kedua tungkai diluruskan (diekstensikan), kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Pada keadaan normal dapat dicapai sudut 70° sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70° maka disebut tanda Lasegue positif. Namun pada pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60°.
 
o   Saraf-saraf otak
·         Nervus I (olfaktorius)
-         Anosmia adalah hilangnya daya penghiduan.
-         Hiposmia adalah bila daya ini kurang tajam.
-         Hiperosmia adalah daya penghiduan yang terlalu peka.
-         Parosmia adalah gangguan penghiduan bilamana tercium bau yang tidak sesuai misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bau bawang goreng.
-         Kakosmia adalah mempersepsi adanya bau busuk, padahal tidak ada.
-         Halusinasi penciuman adalah bila tercium suatu modalitas olfaktorik tanpa adanya perangsangan maka kesadaran akan suatu jenis bau ini
o   Nervus II (optikus)
-         Tajam penglihatan : membandingkan ketajaman penglihatan pemeriksa dengan jalan pasien disuruh melihat benda yang letaknya jauh misal jam didinding, membaca huruf di buku atau koran.
-         Lapangan pandang         : Yang paling mudah adalah dengan munggunakan metode Konfrontasi dari Donder. Dalam hal ini pasien duduk atau berdiri kurang lebih jarak 1 meter dengan pemeriksa, Jika kita hendak memeriksa mata kanan maka mata kiri pasien harus ditutup, misalnya dengan tangannya pemeriksa harus menutup mata kanannya. Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat ke mata kanan pasien. Setelah pemeriksa menggerakkan jari tangannya dibidang pertengahan antara pemeriksa dan pasien dan gerakan dilakukan dari arah luar ke dalam. Jika pasien mulai melihat gerakan jari – jari pemeriksa, ia harus memberitahu, dan hal ini dibandingkan dengan pemeriksa, apakah iapun telah melihatnya. Bila sekiranya ada gangguan kampus penglihatan (visual field) maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut. Gerakan jari tangan ini dilakukan dari semua jurusan dan masing masing mata harus diperiksa.
-         Melihat warna
-         Refleks ancaman
-         Refleks pupil 
·         Nervus III (okulomotorius)
-         Pergerakan bola mata ke arah : atas, atas dalam, atas luar, medial, bawah, bawah luar.
-         Diplopia (melihat kembar)
-         Strabismus (juling)
-         Nistagmus (gerakan bola mata diluar kemauan pasien)
-         Eksoftalmus (mata menonjol keluar)
-         Pupil : lihat ukuran, bentuk dan kesamaan antara kiri dan kanan
-         Refleks pupil (refleks cahaya)
Direk/langsung : cahaya ditujukan seluruhnya kearah pupil. Normal, akibat adanya cahaya maka pupil akan mengecil (miosis). Perhatikan juga apakah pupil segera miosis, dan apakah ada pelebaran kembali yang tidak terjadi dengan segera.
Indirek/tidak langsung: refleks cahaya konsensuil. Cahaya ditujukan pada satu pupil, dan perhatikan pupil sisi yang lain.
-         Rima palpebra
-         Deviasi konjugae 
·            Nervus IV (trochlearis)
-         Pergerakan bola mata ke bawah dalam
·         Nervus V (trigeminus)
-         Pemeriksaan motorik : membuka dan menutup mulut; palpasi otot maseter dan temporalis; kekuatan gigitan.
       Cara:  
1.    pasien diminta merapatkan gigi sekuatnya, kemudian meraba M. masseter dan M. temporalis. Normalnya kiri dan kanan kekuatan, besar dan tonus nya sama.
2.    Pasien diminta membuka mulut dan memperhatikan apakah ada deviasi rahang bawah, jika ada kelumpuhan maka dagu akan terdorong kesisi lesi. Sebagai pegangan diambil gigi seri atas dan bawah yang harus simetris.Bila terdapat parese disebelah kanan, rahang bawah tidak dapat digerakkan kesamping kiri. Cara lain pasien diminta mempertahankan rahang bawahnya kesamping dan kita beri tekanan untuk mengembalikan rahang bawah keposisi tengah.
-         Pemeriksaan sensorik : dengan kapas dan jarum dapat diperiksa rasa nyeri dan suhu, kemudian lakukan pemeriksaan pada dahi, pipi dan rahang bawah.
-         Refleks kornea : Kornea disentuh dengan kapas, bila normal pasien akan menutup matanya atau menanyakan apakah pasien dapat merasakan.
-         Refleks masseter : Dengan menempatkan satu jari pemeriksa melintang pada bagian tengah dagu, lalu pasien dalam keadaan mulut setengah membuka dipukul dengan ”hammer reflex” normalnya didapatkan sedikit saja gerakan, malah kadang kadang tidak ada. Bila ada gerakan hebat yaitu kontraksi M. masseter, M. temporalis, M. pterygoideus medialis yang menyebabkan mulut menutup ini disebut refleks meninggi.
-         Refleks bersin : menggunakan kapas. 
o   Nervus VI (abdusens)
-         Pergerakan bola mata ke lateral 
o   Nervus VII (fasialis)
-         Pemeriksaan fungsi motorik : mengerutkan dahi (dibagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam), mimik, mengangkat alis, menutup mata (menutup mata dengan rapat dan coba buka dengan tangan pemeriksa), moncongkan bibir atau menyengir, memperlihatkan gigi, bersiul (suruh pasien bersiul, dalam keadaan pipi mengembung tekan kiri dan kanan apakah sama kuat. Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar kebagian sisi yang lumpuh)
o   Nervus VIII (vestibulo-koklearis)
-         Pemeriksaan fungsi n. koklearis untuk pendengaran
§  Pemeriksaan Weber : Maksudnya membandingkan transportasi melalui tulang ditelinga kanan dan kiri pasien. Garputala ditempatkan didahi pasien, pada keadaan normal kiri dan kanan sama keras (pasien tidak dapat menentukan dimana yang lebih keras). Pendengaran tulang mengeras bila pendengaran udara terganggu, misal: otitis media kiri, pada test Weber terdengar kiri lebih keras. Bila terdapat “nerve deafness” disebelah kiri, pada test Weber dikanan terdengar lebih keras.
§  Pemeriksaan Rinne : Maksudnya membandingkan pendengaran melalui tulang dan udara dari pasien. Pada telinga yang sehat, pendengaran melalui udara didengar lebih lama daripada melalui tulang. Garputala ditempatkan pada planum mastoid sampai pasien tidak dapat mendengarnya lagi. Kemudian garpu tala dipindahkan kedepan meatus eksternus. Jika pada posisi yang kedua ini masih terdengar dikatakan test positip. Pada orang normal test Rinne ini positif. Pada “conduction deafness” test Rinne negatif.
§  Pemeriksaan Schwabah : Pada test ini pendengaran pasien dibandingkan dengan pendengaran pemeriksa yang dianggap normal. Garpu tala dibunyikan dan kemudian ditempatkan didekat telinga pasien. Setelah pasien tidak mendengarkan bunyi lagi, garpu tala ditempatkan didekat telinga pemeriksa. Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek (untuk konduksi udara). Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid pasien. Dirusuh ia mendengarkan bunyinya. Bila sudah tidak mendengar lagi maka garpu tala diletakkan di tulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengar bunyinya maka dikatakan Schwabach (untuk konduksi tulang) lebih pendek.
o   Nervus IX
-         Pemeriksaan motorik : disfagia, palatum molle, uvula, disfonia, refleks muntah.

Cara 1 : Pasien diminta untuk membuka mulut dan mengatakan huruf “a”. Jika ada gangguan maka otot stylopharyngeus tak dapat terangkat dan menyempit dan akibatnya rongga hidung dan rongga mulut masih berhubungan sehingga bocor. Jadi pada saat mengucapkan huruf “a” dinding pharynx terangkat sedang yang lumpuh tertinggal, dan tampak uvula tidak simetris tetapi tampak miring tertarik kesisi yang sehat
Cara 2 : Pemeriksa menggoreskan atau meraba pada dinding pharynx kanan dan kiri dan bila ada gangguan sensibilitas maka tidak terjadi refleks muntah.
-         Pemeriksaan sensorik : pengecapan 1/3 belakang lidah
o   Nervus X
Pemeriksaan bersamaan dengan nervus IX.
o   Nervus XI
-         Memeriksa tonus m. sternocleidomastoideus : Dengan menekan pundak pasien dan pasien diminta untuk mengangkat pundaknya.
-         Memeriksa tonus m. trapezius : Pasien diminta untuk menoleh kekanan dan kekiri dan ditahan oleh pemeriksa , kemudian dilihat dan diraba tonus dari m. sternocleidomastoideus.
o   Nervus XII
Dengan adanya gangguan pergerakan lidah, maka perkataan-perkataan tidak dapat diucapkan dengan baik, hal demikian disebut: dysarthria. Dalam keadaan diam lidah tidak simetris, biasanya tergeser kedaerah lumpuh karena tonus disini menurun. Bila lidah dijulurkan maka lidah akan membelok kesisi yang sakit. Melihat apakah ada atrofi atau fasikulasi pada otot lidah. Kekuatan otot lidah dapat diperiksa dengan menekan lidah kesamping pada pipi dan dibandingkan kekuatannya pada kedua sisi pipi.
  • Pemeriksaan sistem motorik
Pemeriksaan sistim motorik sebaiknya dilakukan dengan urutan urutan tertentu untuk menjamin kelengkapan dan ketelitian pemeriksaan. 
o   Pengamatan
-         Gaya berjalan dan tingkah laku.
-         Simetri tubuh dan ektremitas.
-         Kelumpuhan badan dan anggota gerak, dll. 
o   Gerakan volunter
Yang diperiksa adalah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa, misalnya:
-         Mengangkat kedua tangan pada sendi bahu.
-         Fleksi dan ekstensi artikulus kubiti.
-         Mengepal dan membuka jari-jari tangan.
-         Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul.
-         Fleksi dan ekstensi artikulus genu.
-         Plantar fleksi dan dorso fleksi kaki.
-         Gerakan jari- jari kaki. 
o        Palpasi otot
-         Pengukuran besar otot.
-         Nyeri tekan.
-         Kontraktur.
-         Konsistensi (kekenyalan).
-         Konsistensi otot yang meningkat terdapat pada: 
§  Spasmus otot akibat iritasi radix saraf spinalis, misal: meningitis, HNP
§  Kelumpuhan jenis UMN (spastisitas)
§  Gangguan UMN ekstrapiramidal (rigiditas)
§  Kontraktur otot
-  Konsistensi otot yang menurun terdapat pada 
§  Kelumpuhan jenis LMN akibat denervasi otot.
§  Kelumpuhan jenis LMN akibat lesi di “motor end plate”
o   Perkusi otot
-         Normal : otot yang diperkusi akan berkontraksi yang bersifat setempat dan berlangsung hanya 1 atau 2 detik saja.
-         Miodema : penimbunan sejenak tempat yang telah diperkusi (biasanya terdapat pada pasien mixedema, pasien dengan gizi buruk).
-         Miotonik : tempat yang diperkusi menjadi cekung untuk beberapa detik oleh karena kontraksi otot yang bersangkutan lebih lama dari pada biasa.
o   Tonus otot
-         Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang hendak diperiksa kemudian ekstremitas tersebut kita gerak-gerakkan fleksi dan ekstensi pada sendi siku dan lutut. Pada orang normal terdapat tahanan yang wajar.
-         Flaccid : tidak ada tahanan sama sekali (dijumpai pada kelumpuhan LMN).
-         Hipotoni : tahanan berkurang.
-         Spastik : tahanan meningkat dan terdapat pada awal gerakan, ini dijumpai pada kelumpuhan UMN.
-         Rigid : tahanan kuat terus menerus selama gerakan misalnya pada Parkinson.
o   Kekuatan otot
-         Pemeriksaan ini menilai kekuatan otot, untuk memeriksa kekuatan otot ada dua cara: 
      • Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan pemeriksa menahan gerakan ini.
      • Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia disuruh menahan.
-   Cara menilai kekuatan otot:
      • 0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total.
      • 1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada persendiaan yang harus digerakkan oleh otot tersebut.
      • 2 : Didapatkan gerakan,tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya berat (gravitasi).
      • 3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat.
      • 4 : Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit tahanan yang diberikan.
      • 5 : Tidak ada kelumpuhan (normal)

·         Sistem sensibilitas

o Eksteroseptif : terdiri atas rasa nyeri, rasa suhu dan rasa raba.
Rasa nyeri bisa dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya dengan menusuk menggunakan jarum, memukul dengan benda tumpul, merangsang dengan api atau hawa yang sangat dingin dan juga dengan berbagai larutan kimia.
Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas. Penderita disuruh mengatakan dingin atau panas bila dirangsang dengan tabung reaksi yang berisi air dingin atau air panas. Untuk memeriksa rasa dingin dapat digunakan air yang bersuhu sekitar 10-20 °C, dan untuk yang panas bersuhu 40-50 °C. Suhu yang kurang dari 5 °C dan yang lebih tinggi dari 50 °C dapat menimbulkan rasa-nyeri.
Rasa raba dapat dirangsang dengan menggunakan sepotong kapas, kertas atau kain dan ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya tekanan atau pembangkitan rasa nyeri. Periksa seluruh tubuh dan bandingkan bagian-bagian yang simetris. 
o   Proprioseptif : rasa raba dalam (rasa gerak, rasa posisi/sikap, rasa getar dan rasa tekanan)
Rasa gerak : pegang ujung jari jempol kaki pasien dengan jari telunjuk dan jempol jari tangan pemeriksa dan gerakkan keatas kebawah maupun kesamping kanan dan kiri, kemudian pasien diminta untuk menjawab posisi ibu jari jempol nya berada diatas atau dibawah atau disamping kanan/kiri.
Rasa sikap : Tempatkan salah satu lengan/tungkai pasien pada suatu posisi tertentu, kemudian suruh pasien untuk menghalangi pada lengan dan tungkai. Perintahkan untuk menyentuh dengan ujung ujung telunjuk kanan, ujung jari kelingking kiri dsb.
Rasa getar : Garpu tala digetarkan dulu/diketuk pada meja atau benda keras lalu letakkan diatas ujung ibu jari kaki pasien dan mintalah pasien menjawab untuk merasakan ada getaran atau tidak dari garputala tersebut.
o   Diskriminatif : daya untuk mengenal bentuk/ukuran; daya untuk mengenal /mengetahui berat sesuatu benda dsb.
Rasa gramestesia : untuk mengenal angka, aksara, bentuk yang digoreskan diatas kulit pasien, misalnya ditelapak tangan pasien.
Rasa barognosia : untuk mengenal berat suatu benda.
Rasa topognosia : untuk mengenal tempat pada tubuhnya yang disentuh pasien.
  • Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan refleks dilakukan pada ekstermitas atas dan bawah.Refleks diuji dengan cara memberikan stimulus dan mengamati respons yang timbul.Respons terjadi pada tulang dan otot lunak.Diuji dengan suatu pukulan cepat dengan refleks hammer pada tendo-tendo suatu kelompok otot.Tidak adanya refleks menunjukkan adanya gangguan pada serabut/penghantar refleks.Selain itu diperiksa pula ada tidak adanya patologis didaerah telapak kaki,yang dikenal dengan refleks babinski.Dilakukan dengan cara menggoreskan benda agak tajam pada telapak kaki dari tumit ke atas menuju ibu jari kaki.Respon normal ditunjukkan dengan adanya fleksi pergelangan kaki.
o   Refleks fisiologis
-        Biseps
Stimulus        : ketokan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m. biseps brachii, posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku.
Respons        : fleksi lengan pada sendi siku.
Afferent        : n. musculucutaneus (C5-6)
Efferenst       : idem
-        Triseps
Stimulus        : ketukan pada tendon otot triseps brachii, posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi.
Respons        : extensi lengan bawah disendi siku
Afferent        : n. radialis (C 6-7-8)
Efferenst       : idem
-        KPR
Stimulus        : ketukan pada tendon patella
Respons        : ekstensi tungkai bawah karena kontraksi m. quadriceps emoris.
Efferent         : n. femoralis (L 2-3-4)
Afferent        : idem
-        APR
Stimulus        : ketukan pada tendon achilles
Respons        : plantar fleksi kaki karena kontraksi m. gastrocnemius
Efferent         : n. tibialis ( L. 5-S, 1-2 )
Afferent        : idem
-        Periosto-radialis
Stimulus        : ketukan pada periosteum ujung distal os radii, posisi lengan setengah fleksi dan sedikit pronasi
Respons        : fleksi lengan bawah di sendi siku dan supinasi karena kontraksi m. brachioradialis
Afferent        : n. radialis (C 5-6)
Efferenst       : idem
-        Periosto-ulnaris
Stimulus        : ketukan pada periosteum proc. styloigeus ulnea, posisi lengan setengah fleksi & antara pronasi – supinasi.
Respons        : pronasi tangan akibat kontraksi m. pronator quadratus
Afferent        : n. ulnaris (C8-T1)
Efferent         : idem
o   Refleks patologis
-        Babinski
Stimulus : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior.
Respons : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan (fanning) jari – jari kaki.
-        Chaddock
Stimulus : penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral, sekitar malleolus lateralis dari posterior ke anterior.
Respons : seperti babinski
-        Oppenheim
Stimulus : pengurutan crista anterior tibiae dari proksimal ke distal
Respons : seperti babinski
-        Gordon
Stimulus : penekanan betis secara keras
Respons : seperti babinski
-        Schaeffer
Stimulus : memencet tendon achilles secara keras
Respons : seperti babinski
-        Gonda
Stimulus : penekukan ( planta fleksi) maksimal jari kaki keempat
Respons : seperti babinski
-        Hoffman
Stimulus : goresan pada kuku jari tengah pasien
Respons : ibu jari, telunjuk dan jari – jari lainnya berefleksi
-        Tromner
Stimulus : colekan pada ujung jari tengah pasien
Respons : seperti Hoffman
·         Koordinasi
Termasuk dalam pemeriksaan koordinasi :
-        Lenggang
-        Bicara : berbicara spontan, pemahaman, mengulang, menamai.
-        Menulis : mikrografia pada Parkinson’s disease
-        Percobaan apraksia : ketidakmampuan dalam melakukan tindakan yang terampil : mengancing baju, menyisir rambut, dan mengikat tali sepatu
-        Mimik
-        Tes telunjuk : pasien merentangkan kedua lengannya ke samping sambil menutup mata. Lalu mempertemukan jari-jarinya di tengah badan.
-        Tes telunjuk-hidung : pasien menunjuk telunjuk pemeriksa, lalu menunjuk hidungnya.
-        Disdiadokokinesis : kemampuan melakukan gerakan yang bergantian secara cepat dan teratur.
-        Tes tumit-lutut : pasien berbaring dan kedua tungkai diluruskan, lalu pasien menempatkan tumit pada lutut kaki yang lain.
·         Vegetatif
Pemeriksaan vegetatif :
-        Vasomotorik : pembuluh darah à digores merah
-        Sudomotorik : berkeringat
-        Pilo-erektor : merinding à tangan pemeriksa setelah memegang es, lalu memegang pasien
-        Miksi
-        Defekasi
-        Potensi libido
·         Vertebra
Bentuk, scoliosis, hiperlordosis, kifosis
·         Tanda-tanda perangsangan radikuler 
    1. Laseque    : kaki difleksikan pada sendi panggul dengan sendi lutut tetap ekstensi à tahanan dengan sudut > 60°
    2. Cross Laseque : lakukan tes Laseque, nyeri pada kaki yang berlawanan
    3. Patrick
    4. Contra-Patrick
·         Gejala-gejala Cerebellar 
    • Ataksia : gangguan gerakan jalan yang tidak teratur oleh karena impuls proprioseptif tidak dapat diintegrasikan (gangguan koordinasi gerakan).
    • Disartria : gangguan kata-kata.
    • Tremor : intention tremor : iregular, bertambah kasar bila tangan menuju suatu arah atau sasaran.
    • Nistagmus : tes kalori
    • Fenomena Rebound : tidak mampu menghentikan gerakan tepat pada waktunya. Penderita memfleksikan tangan dan disuruh menahan tahanan oleh pemeriksa, lalu pemeriksa melepaskan tangannya dengan tiba-tiba à ditahan oleh otot-otot triseps à normal.
    • Vertigo : gangguan orientasi ruangan dimana perasaan dirinya bergerak berputar terhadap ruangan di sekitarnya atau ruangan sekitarnya bergerak terhadap dirinya.
·         Gejala-gejala ekstrapiramidal 
    1. Tremor : resting tremor/Parkinson tremor
    2. Rigiditas : hipertonus otot-otot
    3. Bradikinesia : gerakan melambat
·         Fungsi Luhur 
    1. Kesadaran kualitatif
    2. Ingatan baru
    3. Ingatan lama
    4. Orientasi : diri, tempat, waktu, situasi
    5. Inteligensia : normal, terganggu
    6. Daya pertimbangan : baik, kurang
    7. Reaksi emosi : normal, terganggu
    8. Afasia : gangguan berbahasa (gangguan dalam memproduksi atau memahami bahasa)
- Ekspresif : motorik, area Brocca
- Reseptif : area Wernicke
9.   Agnosia : ketidakmampuan mengenali benda-benda yang telah dikenali  sebelumnya.
-        Agnosia visual : tidak mampu mengenali objek secara visual
-        Agnosia jari : ketidakmampuan mengidentifikasi jarinya atau jari orang lain → pasien menutup mata, pemeriksa memegang salah satu jari pasien, dan pasien membuka mata dan menunjukkan jari yang diraba tadi.
10.  Akalkulia : ketidakmampuan berhitung
11.  Disorientasi kanan-kiri
Patofisiologi
Dinamika Ruang Intrakranial
Hipotesis Monro-Kellie menyatakan bahwa volume intrakranial sama dengan volume otak (80-85%) ditambah volume darah serebral (3-10%) dan volume cairan serebrospinal (8-12%). Perubahan volume dari salah satu komponen karena proses desak ruang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Dalam keadaan normal, otak mempunyai kemampuan melakukan autoregulasi aliran darah serebral untuk menyesuaikan dengan perubahan komponen intrakranial lainnya. Autoregulasi menjamin aliran darah konstan melalui pembuluh darah serebral di atas rentang tekanan perfusi dengan cara mengubah diameter pembuluh darah dalam berespon terhadap tekanan perfusi serebral. Tetapi berbagai faktor dapat mengubah kemampuan pembuluh serebral untuk melakukan kontriksi dan dilatasi seperti iskemia, hipoksia, hiperkapnea dan trauma otak. Karbondioksida merupakan vasodilator yang paling poten pada pembuluh serebral, dapat menyebabkan kenaikan aliran darah serebral dan selanjutnya dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Autoregulasi dapat berfungsi dalam batasan:
  1. Tekanan perfusi serebral > 60 mmHg
  2. Tekanan arteri rata-rata <>
  3. Tekanan intrakranial <>
Bila mekanisme autoregulasi terganggu, aliran darah serebral berfluktuasi sesuai dengan tekanan darah sistemik. Setiap aktivitas yang menyebabkan peningkatan tekanan darah seperti batuk, suksion dan kecemasan dapat menyebabkan peningkatan aliran darah serebral yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Otak mampu melakukan kompensasi atau menerima perubahan minimal pada volume kolaps parsial sisterna, ventrikel dan sistem vaskuler, juga menurunkan pembentukan dan meningkatkan reabsorbsi cairan serebrospinal. Selama masa kompensasi, TIK tetap cukup konstan. Bila mekanisme kompensasi ini telah digunakan sampai batas kemampuan otak, peningkatan TIK tidak dapat diterima lagi dan akan terjadi herniasi yang mengakibatkan terhentinya aliran darah serebral sebagai konsekuensi yang paling berat.
Tekanan Perfusi Serebral (TPS)
Aliran darah serebral berjalan dalam TPS > 60 mmHg. Di bawah tingkat ini, suplai darah ke otak tidak adekuat dan akan terjadi hipoksia neural dan dapat terjadi kematian sel neuron. Saat tekanan perfusi menurun, respon kardiovaskuler adalah meningkatkan tekanan darah sistemik. Sistem autoregulasi yang berfungsi mempertahankan aliran darah serebral yang konstan tidak berfungsi bila TPS <>

















BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
      Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang sangat  penting. Langkah-langkah pemeriksaan fisik tingkat kesadaran dapat dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi. Tingkat kesadarannya di bagi menjadi beberapa yaitu: normal, somnolen, sopor (stupor), koma ringan (semi koma), koma (dalam dan komplit). Sementara untuk pemeriksaan lebih detailnya lagi, yaitu dengan penggunaan Glasgow Coma Scale (GCS) lebih berguna untuk mendapatkan data yang lebih akurat.Pemeriksaan GCS sangat penting untuk memeriksa status neurologis khususnya pada kasus trauma seperti cedera kepala.Pemeriksaan ini menggunakan stimuli suara dan nyeri yang kemudian akan dinilai berdasarkan respon klien.
B.SARAN
            Pengetahuan mengenai sistem neurologi hendaknya harus di miliki setiap orang. Dengan pengetahuan yang dimiliki dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.dan pengetahuan yang di berikan harus  mudah di pahami, tepat sasaran, dan tidak menyesatkan. Dengan demikian orang tersebut akan dapat menghadapi gangguan dari luar maupun dari dalam dengan cara yang sehat, matang dan bertanggung jawab.













DAFTAR PUSTAKA